Kamis, 24 Juli 2014

Mengenal Sosok Ikan Raksasa (Ikan Agam)

Ikan Agam

Tanpa payung hukum, mampukah gergasi itu berenang bebas?

Oleh Jennifer S. Holland
Foto oleh David Doubilet dan Jennifer Hayes
Di lepas pantai Florida barat daya, 30 meter di bawah permukaan laut, terdengar bunyi debum menggaung. Lalu disusul debum lainnya, laksana ledakan kembang api di kejauhan. Suara ini berasal dari sebuah bangkai kapal. Di dalam lambungnya yang pecah, ada belasan ikan yang amat besar—dan sangat gaduh.

Inilah ikan kerapu goliath atlantik. Hewan tersebut berkerumun di bangkai kapal dan karang untuk makan dan berkumpul. Ikan yang memiliki bobot 360 kilogram dengan panjang hampir tiga meter ini mencanangkan kehadirannya kepada makhluk yang mendekat dengan menciutkan gelembung renangnya, kantong udara yang membantunya mengapung. Bum. Bum. BUM!

Kerapu goliath dulu banyak jumlahnya dan tersebar. Ada puluhan ribu ekor yang hidup di perairan Amerika Serikat bagian selatan, perairan Karibia, dan Brasilia. Sayangnya, setelah bertahun-tahun ditombak dan dipancing besar-besaran, jumlahnya menyusut hingga tingkat yang amat rendah—angka pastinya belum diketahui, mungkin di bawah seribu. Populasi kerapu di Florida kini mulai pulih, dan nelayan, ahli biologi, serta pejabat lokal mulai angkat bicara soal apakah hewan ini telah cukup pulih sehingga tidak perlu lagi dilindungi.

Chris Koenig dari Florida State University sudah puluhan tahun menangkap ikan ke­rapu goliath, tetapi bukan untuk makanan atau hiburan. Dia memancing kerapu dan meng­angkatnya ke perahu kecil untuk mengukur, memotong tulang rawan sirip untuk tes DNA, dan mengetahui usianya. Ia mengambil sampel isi perut untuk mengetahui makanannya, serta memeriksa organ reproduksi untuk melihat tanda pemijahan. Setiap ikan diberi tanda di bawah kulit sebelum dikembalikan ke laut. Koenig berhasil mengumpulkan informasi tentang tempat dan waktu kemunculan hewan ini serta kondisi kesehatan masing-masing. Bersama istri merangkap rekannya, Felicia Coleman—yang membantu mengelola data yang membludak—dia berharap dapat mengetahui secara jelas status Epinephelus itajara tersebut.

Perilaku ikan kerapu juga turut berperan dalam penurunan populasinya. “Biasanya ikan ini tak berpindah sedikit pun; menempel terus ke karang,” yang menyediakan tempat tinggal dan makanan berlimpah, kata Koenig.

Inilah yang menjadikannya sasaran empuk. “Kami dulu biasa menombak kerapu sepanjang waktu,” kata Frank Hammett, 86 tahun. Ia menghabiskan sebagian besar masa mudanya saat berusia 20-an dengan menombak ikan. “Di Palm Beach kami bisa melihat ikan ini diam di dasar laut sedalam 30 meter. Terumbu karang penuh dengannya. Mungkin ada seratus ekor di satu tempat saja. Saya menombak satu dua ekor, menjualnya satu rupiah per kilogram. Saya mengerjakan hal ini selama 15 tahun atau lebih.”

Saat itu penangkapan komersial kerapu masih bersifat regional—di Florida Keys, kerapu goliath yang dimasak dengan kacang hitam dan beras merupakan makanan favorit—tetapi ketika tangkapan ikan lainnya menyusut pada awal 1980-an, ikan kerapu mulai dihidangkan di mana-mana. Ikan itu juga merupakan favorit olahraga memancing; orang sangat menyukai sensasi menaklukkan raksasa satu ini. Ribuan ekor menemui ajalnya untuk dipajang sebagai trofi. Spesies yang berumur panjang dan lambat dewasa ini terdesak ke ambang kepunahan.

Untungnya hal itu tidak terjadi. Pada 1990 kerapu goliath dinyatakan berstatus terancam punah dan mendapat perlindungan hukum di Amerika Serikat bagian tenggara. Sejak itu populasi ikan tersebut perlahan mulai pulih—dan menarik penyelam scuba, yang sangat suka berenang bersama ikan besar yang tidak buas tersebut. Pemulihan terbesar—mungkin sebanyak ribuan ikan—terjadi di lepas pantai Florida barat daya tempat hutan bakau, habitat anak kerapu, masih tumbuh dengan lebat.

Seperti yang biasa terjadi dalam dunia kon­ser­vasi, ada dua kubu dalam masalah kerapu goliath. Karena masih dinyatakan berstatus kritis di sebagian besar kawasannya, kerapu di Florida tidak boleh ditangkap. “Dukungan politik bagi perlindungan sedemikian menggebunya sehingga, jangankan menyentuh, melihat ikan itu saja tak boleh,” kata Komisioner Key West Tony Yaniz. “Lebih baik tertangkap membawa sekarung ganja daripada seekor ikan ini.”

Padahal menurut banyak nelayan, jumlah ikan ini sekarang amat banyak. Mereka me­ngeluh ikan besar itu mengganggu bisnis mereka. “Berulang kali ikan kerapu goliath men­curi kakap dan kerapu yang boleh kami tangkap,” kata nelayan komersial dan pemandu Jim Thomas. “Dia makan lobster juga. Sangat me­rugikan.” Pria ini termasuk salah satu yang menginginkan penangkapan kerapu diizinkan—walau hanya beberapa ekor setahun. Bisa diatur agar menguntungkan kedua belah pihak, tambah Yaniz. Bukankah kita bisa melibatkan nelayan untuk memecahkan masalah pelestarian dengan memberikan data mengenai jumlah dan ukuran ikan? “Merekalah yang tiap hari melaut, memelototi yang terjadi di sana. Mereka bisa membantu kita mencari tahu.”

Pihak pelestari menganggap pandangan kaum nelayan itu keliru. Koenig dan pihak non-nelayan lain yang “memelototi lautan” me­nyangkal keras pernyataan bahwa ikan kerapu merebut tangkapan nelayan. Penelitian berulang kali menunjukkan bahwa sebagian besar mangsa ikan kerapu yang lamban adalah hewan yang kecil dan lambat (separuh makanannya adalah kepiting, bukan lobster).

Koenig mengatakan bahwa pemberian izin menangkap kerapu di Florida yang jumlahnya meningkat bisa menghambat pemulihan secara keseluruhan. Ikan ini kebanyakan menetap di terumbu dangkal, pantai curam berbatu, dan kapal karam. “Kerapu betah di sarang,” jelasnya, “dia enggan pindah ke tempat lain.” Jadi, jika kita mengurangi populasi di daerah yang paling padat, ikan yang tersisa justru semakin tidak berminat untuk pindah ke tempat yang tidak ada kerapunya. Dan itu berarti pemulihan tidak akan meluas seperti yang diharapkan.

Koenig dan Coleman menemukan bahwa se­kali-sekalinya ikan kerapu menempuh perjalan­an jauh adalah saat pemijahan. “Tatkala musim kawin tiba, ikan ini melakukan perjalanan jarak jauh menuju tempat pemijahan, bahkan hampir 500 kilometer,” kata Koenig. Ikan dari berbagai penjuru, mungkin dari seluruh pesisir Atlantik, berkumpul di lepas pantai di dekat bangkai kapal dan karang, berenang dengan berisik sambil melepaskan sperma dan telur, membangun generasi berikutnya.

Sayangnya, sesukses apa pun perkawinannya, mustahil populasi kerapu kembali seperti sebe­lumnya. Koenig menyatakan, kan­dungan air raksa dalam air laut menyebabkan “dampak beracun tersembunyi. Ikan dewasa mengidap patologi nyata—lesi di hati—akibat tingginya kadar air raksa,” terangnya. Berarti, selain kemungkinan turut menurunkan jumlah ikan, ini membuatnya tidak aman disantap. “Apa mau dikata, semua tangkapan sepanjang lebih dari satu meter,” kata Don DeMaria, mantan nelayan komersial yang kini membantu upaya konservasi, “terpaksa kami buang.”

Masa depan kerapu juga bergantung pada hutan bakau, tempat ikan ini hidup di antara akar pohon sampai berusia sekitar lima tahun. Pembangunan pesisir, pertanian, dan pencemaran mengancam habitat perairan dangkal itu.

Pada akhirnya, baik nelayan maupun ahli bio­logi, dan bahkan pejabat pemerintah, meng­inginkan hal yang sama: populasi kerapu yang cukup besar dan kuat untuk men­datangkan pe­nyelam dan pemancing, tanpa meng­hancur­kan populasinya. Sementara perdebatan ber­lanjut, sang kerapu terus berdebum di negeri bawah air. Ikan besar ini juga ingin didengar suaranya.

0 komentar:

Posting Komentar